Rabu, 11 Agustus 2010

Sebuah nasehat dari buku Fit and Proper : buku yang sangat bagus

Sebuah perusahaan mitra experd, pada suatu waktu menyadari situasi kritis yang terjadi di perusahaan yaitu kenyataan bahwa mencetak banyak laba, mengembangkan bisnis dan menjadi pemain terpenting di industrinya, tetapi tidak mempunyai penerus di tingkat direksi sampai supevisor. “Pelatihan manajemen tidak pernah terlupakan. Kami juga menjalankan manajemen kinerja dengan baik, tetapi mengapa kita tidak berhasil meng-cloning diri kita? Berkaca pada pengalaman kami, dulu kami tidak dicekoki dengan pengajaran-pengajaran istimewa selagi muda”.
Apapun argumentasinya, kita perlu menyadari bahwa bila dalam organisasi kita tidak terlalu banyak suksesor, cepat atau lambat perusahaan akan bermasalah. Pada kenyataannya kita juga melihat bahwa organisasi semakin tidak diminati karena calon karyawan dan karyawan yang bekerja tahu dan sadar tentang tidak adanya suksesi yang jelas.
Nampaknya, argumentasi “perusahaan kita bukan universitas tempat belajar” sudah tidak bisa dijalankan pada perusahaan yang ingin menjaga kontinuitas bisnisnya. Bukti menunjukkan bahwa kualitas manusia beserta prinsip dan spirit perusahaan tidak bisa “dibeli“ atau “ditempel” dari luar. Mungkin ini juga mengapa penemu Mc Donald, Kay Roc mengatakan: “if we going to anywhere, we’ve got to have talent. And I am going to put my money on talent,” ketika membangun “hamburger university-nya,”. Sejak awal berdirinya McDonald sudah menyatakan bahwa mereka ingin menjadi “talent developer” terbaik agar mempunyai “man power” yang sepenuhnya berkomitment pada QSC&V (Quality, Service, Cleaningless and Value).
Turunkan Prinsip Sampai Mendarah Daging
Toyota yang sangat terkenal berhasil mencetak manajer yang mumpuni sesuai kebutuhan, sangat percaya bahwa prinsip yang dipegang dalam menjalankan tugas jauh lebih penting daripada segala macam tools manajemen dan proses. Prinsip di sini tidak terbatas pada hal-hal yang berbau teknis, melainkan juga berlaku dalam mencetak suksesor, salah satunya prinsip bahwa coaching perlu dilakukan dengan keyakinan dan obsesi yang kuat. Mungkin ini sebabnya perusahaan yang “tidak percaya” pada proses coaching akan sulit menerapkan teknik-teknik coaching walaupun teknik-teknik itu diajarkan pada pelatihan, bila pada prinsipnya keyakinan manajemen memang tidak disitu. Dengan demikian, sebelum mempelajari teknik, prinsiplah yang terlebih dulu harus dibangun dan diyakini. Kemudian, hal itu perlu diwariskan turun-temurun dalam organisasi yang kuat, karena pengambilan keputusan dan pemecahan masalah akan di dasarkan pada “benang merah” yang sudah menjadi landasan keberhasilan perusahaan.
Tajamnya Pengindraan Menghasilkan Sense of Precision
Kita tahu strategi itu penting, tetapi strategi yang tepat hanya bisa dilakukan berdasarkan fakta yang tepat. Sering kali, di dunia yang serba instan begini, kita berharap manajer muda kita yang cemerlang secara instan akan mampu membuat strategi yang jitu. Hal inilah yang sering membuat kita frustasi karena kita lupa bahwa hal yang sangat mendasar, yaitu kemampuan dan cara individu memperoleh fakta, terlewatkan. bagaimana seseorang menemukan kejanggalan suatu proses, bagaimana ia merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, bagaimana ia nencium adanya potensi dalam situasi tertentu, bagaimana ia melihat “talenta” pada bawahannya, dan juga bagaimana ia meraba timing dari suatu tindakan tertentu adalah hal-hal penting yang perlu dikuasai, bila ingin menjadi pengambil keputusan yang andal. saya teringat kata-kata ayah saya yang senang sekali melakukan kontrol langsung dalam menjalankan tugasnya sebagai GM: “There’s no subtitute for direct observation”. Dengan keyakinan ini, calon pemimpin bisa didorong dan didampingi untuk banyak-banyak turun ke lapangan, sehingga ia tidak saja pandai menganalisis mengapa gejala tertentu “sudah” terjadi, tetapi justru akan mempunyai nilai tambah lain jika menyaksikan sendiri kesalahan, kegagalan, ataupun kesuksesan terjadi. Pendekatan melalui laporan, interview, data, dan statistik nampaknya memang menghasilkan sesuatu yang berbeda dan memberi dampak yang berbeda terhadap kompetensi seorang pemimpin. Bahkan, pendekatan yang hanya mengandalkan laporan bisa dikatakan adalah sumber kegagalan tercetaknya pemimpin. Melalui observasi dan “merasakan langsung” seorang calon pemimpin bisa mengembangkan sense of precision-nya yang senantiasa akan diperlukan dalam tim.
Obsesi untuk “Menjadikan” Pemimpin
Kita pasti sudah menyadari bahwa hampir semua orgaisasi berusaha meng-“karbit” karyawan-karyawannya yang cemerlang untuk dijadikan calon pemimpin perusahaan, misalnya melalui program management trainee. Namun demikian, masih saja banyak keluhan mengenai kematangan dan kesiapan para calon ini untuk menjadi pemimpin. Pernyataannya, apakah kita sudah secara optimal meluangkan waktu untuk melatih mereka secara keseluruhan, mencakup hati, tangan, kepala, dan cara berkomunikasinya? Kita sadar bahwa pemimpin yang kita idamkan adalah pemimpin yang mampu membuat terobosan dan perbaikan, namun sudahkan kesempatan latihannya dirancang sedemikian rupa sampai ia sempat bereksperimen di lapangan?
Bisa jadi selain kurangnya kesempatan bereksperimen, disadari atau tidak, banyak organisasi yang tidak subur menumbuhkan manajer baru itu mempunyai kebiasaan “membabat” orang yang berbuat salah. “ya, pastilah..kesalahan yang dibuat itu merugikan perusahaan bermillar-millar. Dan itu tidak bisa dibayar seumur hidup gajinya,” demikian komentar salah satu pemimpin perusahan terhadap kesalahan anak buahnya. Mungkin ada saja pemimpin yang sengaja tumbuh yang tidak memperhitungkan pengembangan self-estem para calon pemimpinnya, tetapi jumlahnya tentu lebih sedikit daripada yang dihasilkan oleh situasi yang memang dengan “sengaja” dan serius menyediakan kesempatan bagi para calon pemimpin ini untuk bereksperimen. Perubahan memang sering tidak bisa dicoba-coba padahal seseorang yang “belajar “ memang harus banyak yang memperhatikan dan melakukan “testing” bahkan berbuat kesalahan. Satu-satunya jalan agar seorang calon pemimpin bisa melalui proses belajar yang efektis adalah memberinya tugas yang bertahap dan sudah diperhitungkan resikonya bila kesalahan terjadi. Satu hal yang sudah tidak bisa terlewatkan adalah pembahasan yang mendalam antara atasan atau coach dengan trainee mengenai tindakan, kesuksesan, dan kegagalannya. Pemimpin yang tumbuh sebagai hasil dari pengajaran memerlukan proses coaching, bukan fixing, perlu di-enabled bukan di-desabled.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar